Senin, 21 Januari 2013

Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam RItual Keagamaan


LATAR BELAKANG
Sebelum  masuknya  agama-agama ke bumi Indonesia termasuk Islam, masyarakat Indonesia dikenal sebagai penganut animisme dan dinamisme. Selain itu, sebelum masuknya agama Islam masyarakat Indonesia telah menganut agama Hindu-Budha. Oleh karena itu, ketika masuk agama Islam komunikasi antara ketiga unsur antar kepercayaan animisme-dinamisme, Hindu-Budha dan ajaran agama Islam yang baru dalam kehidupan mereka tidak dapat dihindarkan. Dalam interaksi ini mereka memiliki latar belakang budaya yang berbeda akibat dari bedanya ajaran agama masing-masing. Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,misalnya antara suku bangsa, ras, etnik dan lain-lain.
     Dengan demikian para pembawa agama Islam yang oleh para sejarahwan dikatakan sebagai “pedagang dari Gujarat” dalam menyebarkan agama islam telah mengalami komunikasi dan interaksi yang intensif dengan penduduk lokal yang telah memeluk agama Hindu-Budha, yang tentu saja karena ajaran agama ini menciptakan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan pembawa ajaran agama Islam tersebut.[1]
Unsur budaya Islam tersebar di Jawa seiring dengan masuknya islam di Indonesia.secara kelompok dalam masyarakat Jawa telah mengental unsur budaya Islam sejak mereka berhubungan dengan pedagang yang sekaligus menjadi mubaligh pada taraf penyiaran islam yang pertama kali.
Pada awal interaksinya kebudayaan-kebudayaan ini akan saling mempengaruhi baik secara langsung atau tidak langsung.
Pada akhirnya kebudayaan yang berbeda ini berbaur saling mempengaruhi antara budaya yang satu dan budaya yang lain. Sehingga, saat Islam sudah memiliki banyak pengikut dan legimitasi politik yang cukup besar, dengan sendirinya kebudayaan Islam-lah yang lebih dominan dan  melebur dalam satu kebudayaan dalam satu wajah baru. Unsur kebudayaan islam itu di terima, diolah dan dipadukan dengan budaya Jawa. Karena budaya islam telah tersebar di masyarakat dan tidak dapat di elakkan terjadinya pertemuan dengan unsur budaya Jawa, maka perubahan kebudayaan yang terjadi selama ini adalyang masih dapat menjaga identitas budaya Jawa yakni dengan akulturasi.[2]

PEMBAHASAN
A. Pengertian Akulturasi dan Ritual
            Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul mana kala ada sebuah kebudayaan asing yang masuk dan kebudayaan itu diterima serta diolah oleh suatu kelompok masyarakat tanpa menghilangkan ciri khas kebudayaan masyarakat itu sendiri.[3] Akulturasi merupakan sebuah istilah dalam ilmu sosiologi yang berarti pengambilalihan unsur-unsur kebudayaan lain. Akulturasi terjadi karena adanya keterbukaan suatu masyarakat. Selain itu “perkawinan” dua kebudayaan bisa terjadi karena pemaksaan dari kebudayaan asing yang memasukkan unsur kebudayaan mereka. Selain kedua hal itu, akulturasi dapat juga terjaadi karena beberapa hal, antara lain; kontak dengan budaya lain, sistem pendidikan yang maju yang mengajarkan seseorang untuk lebih berfikir ilmiah dan objektif, keinginan untuk maju, sikap mudah menerima hal-hal baru dan toleransi terhadap perubahan. Contoh akulturasi budaya adalah bangunan masjid Kudus merupakan hasil akulturasi antar Islam dan Hindu, serta perwayangan di daerah jawa dan sekitarnya yang mengangkat cerita Ramayana dan Mahabarata merupakan wujud akulturasi kebudayaan antara Hindu-Budha di bidang kesenian.
            Ritual adalah suatu teknik atau cara yang membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat sosial, dan agama. Ritual bisa bersifat pribadi ataupun berkelompok. Wujudnya bisa berupa tarian,drama,doa,dan sebagainya. Ritual pertamanya bersifat sosial kemudian bersifat ekonomis lalu berkembang menjadi tata cara suci agama. Salah satu contoh ritual yang paling kuno adalah ziarah yang kemudian berkembang menjadi upacara penyucian, pembersihan dan upacara inisiasi (misalnya; masuk menjadi anggota, hamil  7 bulan, masuk akil baligh) kemudian bentuk lebih modern adalah doa, bacaan bersahutan, dan sebagainya.

Dampak negatif dari ritual adalah:
Ø Ritual cenderung untuk pengganti agama. Orang hanya mengikuti ritual tanpa tahu dan menghayati keimanan dan perkembangan kerohanian dengan baik.
Ø Menghambat perkembangan kerohanian. Sulit mengembangkan kerohanian dan perbaikan doktrin, apabila agama dipenuhi oleh ritual dan dikuasai para imam ritual.
Ø Menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Ini telah terbukti sepanjang sejarah manusia.
Ø Ritual bisa berpotensi menolak pembaharuan dan pembenaran.
Dampak positif Ritual adalah:
Ø Stabilasasi peradaban. Misalnya di bangsa-bangsa yang memeluk islam, terlihat lebih stabil dengan adanya keseragaman ritual.
Ø Peningkatan jenis budaya tertentu. Misalnya di Bali, ritualnya bermanfaat bagi tourisme dan pengembangan seni.
Ø Membantu pengendalian diri manusia.[4]
B. Budaya Lokal Jawa
            Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama, yang terutama yang dianut di pulau jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa.
Kejawen sebenarnya adalah nama sebuah kelompok kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang terorganisir seperti agama Islam atau agama Kristen.
Ciri khas dari Kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme, agama Hindu dan agama Budha. Nampak bahwa ini adalah sebuah kepercayaan sinkretisme. Pengamatan Geetz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat. Penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, profesi, etnis dan pandangan politik dan di temukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan abangan, santri dan priyayi.
1. Varian Abangan
Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan.
Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan hasil tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan.
Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan :
1) yang berkisar krisis kehidupan,
2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa,
3) yang terkait dengan intregasi desa,
4) slametan untuk kejadian yang luar biasa yang ingin dislameti.
Kesemuanya, betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.
2. Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jamaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona pada upacara. Sementara santri lebih memiliki perhatian terhadap doktrin dan mengalahkan aspek ritual islam yang menipis.
Untuk mempertahankan doktrin santri, mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisional) dan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis.
Kemudian memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukan pelajaran doktrin pada sekolah negeri.
3. Varian Priyayi
Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan satu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.
Kelompok ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi keraton Hindu-Jawa. Sebagai halnya keraton, maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi dan mistisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
            Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis yang berakar dalam agama-agama Hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh ajaran islam.[5]


C. Peran Wali dalam Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
Dalam penyebaran Islam di Jawa, walisongo memiliki peranan yang cukup besar dalam proses akulturasi Islam dengan budaya Jawa. Mereka menghasilkan karya-karya kebudayaan sebagai media penyebaran Islam. Untuk memperkenalkan unsur-unsur budaya baru hasil akulturasi Islam dengan budaya Jawa itu, para wali melakukan pengenalan nilai-nilai baru secara persuasif. Dalam hal-hal yang sensitif, seperti bidang kepercayaan, para wali membiarkan penghormatan terhadap leluhur sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat jawa. Namun perlengkapan dalam upacara diganti seperti sesaji diganti dengan pemberian makan kepada tetangga dan sanak saudara, yang dikenal dengan hajatan. Sementara itu mantra-mantra diganti dengan kalimat thayyibah (puji-pujian kepada Allah). Beberapa karya lain yang menunjukkan perpaduan Islam dengan budaya Jawa yang telah dihasilkan para wali antara lain gamelan dan wayang. Dalam bidang sastra, kitab  Ambiya yang berisi tentang kisah-kisah nabi adalah wali. Kitab tersebut menjadi rujukan kitab Ambiya yang disalin pada masa pemerintah Surakarta, upaya memadukan unsur Islam dan Budaya Jawa, dimasa selanjutnya dilakukan oleh Sultan Agung di Mataram. Media yang pernah digunakan oleh walisongo dalam menyebarkan agama Islam, seperti Grebeg Besar, digunakan pula oleh Sultan Agung dan keturunannya. Penguasa keraton Yogyakarta maupun Surakarta, dsampai sekarang masih melestarikan perayaan Sekaten untuk memperingati Maulud Nabi. Perayaan Sekaten itu merupakan salah satu bentuk perpaduan unsur Islam dan Budaya Jawa. Sedangkan unsur yang tidak dapat disatukan, seperti pemujaan arwah leluhur dibiarkan tetap berada dalam bentuknya masing-masing.
Kepercayaan merupakan suatu kebudayaan (covert culture), dan sulit diganti dengan unsur asing. Jika dapat diganti, maka akan memakan waktu yang lama, dikarenakan perubahannya lambat. Untuk beradaptasi dengan syariat Islam, dipergunakan cara-cara lunak, persuasif, dan perlahan-lahan. Mengingat adanya kepercayaan Jawa yang tidak dapat dipadukan dengan syariat Islam, seperti dalam masalah akidah. Karena itu, konsep pengitegrasian unsur Islam kedalam budaya Jawa tanpa menghilangkan identitas budaya Jawa itu sendiri. Terutama dalam hal kepercayaan dan adat istiadat yang sulit diubah.
Serta untuk mengsosialisasikan ajaran Islam ke tengah masyarakat Jawa, dikembangkan cara-cara lembut, namun tegas serta menolak kekerasan yang dinilai tidak akan menunjang tercapainya suatu tujuan.
Alkuturasi Islam di masyarakat, melibatkan para priyayi atau penguasa dalam proses perubahan kebudayaan. Karena penguasa adalah panutan bagi rakyatnya, sehingga menyiapkan ajaran tata krama profesi, agar mereka memiliki komitmen untuk mendukung akulturasi Islam dan budaya Jawa.[6]
D. Islam Dalam Praktik Ritual
Al-Qur’an mengatakan:”Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk lingkungan manusia, memerintah kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah.”(3:10)
Dalam peradaban Barat modern, ini yang disebut dengan istilah”humanism”. Namun humanism telah membawa manusia kepada bencana ideology, komunisme totaliter, nazisme dan fasisme. Dunia Muslim juga terperangkap dalam humanism ini, moralitas tanpa kerangka keimanan. Berbagai gerakan nasionalisme dan ideology yang telah mencabik-cabik umat Muslim adalah bukti nyata dari ini.
Humanism dimulai berabad-abad lalu pada masa Yunani Kuno. Bangsa Yunani dengan bangga mengatakan “Manusia adalah ukuran semua hal”.
Iman adalah kepastian mutlak atas keesaan Allah. Keimanan dan keesaan Allah menunjukkan persatuan makhluk, kemanusiaan dan Umat Islam.
Alqur’an menggambarkan orang Badui (orang-orang Arab nomaden yang tinggal disekitar madinah) mengatakan, “Orang Badui berkata, “Kami beriman”, kata Muhammad,”Kamu belum beriman sesungguhnya”, tetapi katakanlah “Kami telah tunduk”, Iman belum masuk betul dihatimu”. (49:14)
Keimanan adalah hubungan antara individu dengan Allah. Namun iman bukanlah suatu ide abstrak atau ideal. Iman adalah jalan hidup yang harus dimanifestasikan dalam perbuatan baik. Oleh sebab itu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menyatakan bahwa Iman adalah perbuatan-perbuatan baik (ihsan), suatu keyakinan dan pembenaran dan anggota dalam sebuah masyarakat beriman.
Kehidupan iman dari suatu umat adalah suatu kehidupan yang berlangsung secara penuh dan terus menerus dengan kehadiran Allah. Dalam permulaan penegakan hukum Allah dalam kehidupan manusia, Nabi mengatakan  waktu telah berpaling dan telah kembali ke bentuk aslinya, bentuk sebagaimana yang Allah inginkan saat Dia menciptakan makhluk”.[7]
E. Jenis-jenis Akulturasi dalam Ritual keagamaan
a) Selametan atau Kewilujengan
Selametan berasal dari  bahasa Arab “salamah” yang berarti selamat. Upacara selamatan ditujukan untuk meminta keselamatan bagi seseorang atau salah satu anggota keluarga. Upacara selametan biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri anggota keluarga dan tetangga, kerabat dan kenalan. Selametan mengundang modin atau tokoh agama untuk memberikan doa.
Koentjaraningrat berpendapat bahwa: “upacara slametan yang bersifat keramat adalah upacara slametan yang diadakan oleh orang-orang yang dapat merasakan getaran emosi keramat, terutama pada waktu menentukan diadakannya slametan itu, tetapi juga pada waktu upacara sedang berjalan.”[8]

     b) Upacara Daur Hidup
Daur hidup adalah upacara yang terkait dengan upacara-upacara sepanjang lingkaran hidup manusia. A Van Gannep yang pendapatnya dikutip oleh Koentjaraningrat mengemukakan bahwa rangkaian upacara sepanjang lingkaran hidup merupakan bentuk tertua dari semua aktivitas keagamaan dan kebudayaan manusia. Dalam daur hidup terdapat suatu tradisi upacara yaitu sedekah untuk menghormati arwah keluarga yang sudah meninggal dunia.
Macam-macam upacara daur hidup adalah:
1.   Tingkeban    : upacara yang diadakan saat usia kandungan mencapai 7 bulan.
2.   Melahirkan  : orang tua mengumandangkan azan pada telinga anak yang baru lahir dan diikuti dengan upacara lek-lekan selama beberapa hari tertentu.
3.   Slametan Brokohan : upacara memberi nama pada bayi. Nama diberikan pada hari kelahiran.
4.   Kekah :  inti upacara ini adalah pemotongan rambut bayi pada hari ke-7.
5.   Tedhak Siten : slametan pada saat bayi berumur 35 hari atau upacara menyentuh tanah.
6.   Khitanan     : upacara sunatan atau mengislamkan.
7.   Pemakaman : upacara menyemayamkan mayit.
8.   Nyekar         : mengunjungi, membersihkan dan berdoa.[9]
9.   Sedekah Surtanah atau Geblag : diadakan pada saat meninggalnya seseorang.
10.   Sedekah nelung dina : upacara slametan yang diadakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya seseorang.
11.  Sedekah mitung dina : upacara slametan yang diadakan pada hari ketujuh setelah meninggalnya seseorang.
12.  Sedekah matang puluh dina : upacara slametan yang diadakan pada hari keempatpuluh setelah meninggalnya seseorang.
13.  Sedekah nyatus : upacara slametan yang diadakan pada hari keseratus setelah meninggalnya seseorang.
14.  Sedekah mendhak sepisan dan mendhak pindo : upacara slametan yang diadakan pada  waktu sesudah satu tahun dan dua tahun dari saat meninggalnya seseorang.
15.  Sedekah nyewu atau nguwis-nguwisi : upacara slametan yang diadakan pada hari keseribu setelah meninggalnya seseorang atau upacara slametan yang terakhir kali.[10]
c) Upacara Tahunan
1.   Mauludan  : Upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
2.   Suranan     : Peringatan tahun baru Hijriyah.
3.   Syawalan   : Peringatan Hari Raya Idul Fitri.9
d) Ziarah Kubur
     Kebiasaan yang sering kita lihat dan dipertahankan oleh masyarakat Islam Jawa khususnya adalah pada hari Kamis sore atau Jum’at pagi melakukan ziarah kubur. Yaitu dengan mengunjungi dan membersihkan makam serta mendo’akan jenazah keluarganya.
e) Haul
     Kata “haul” berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan haul berarti peringatan genap satu tahun seseorang meninggal. Biasanya peringatan-peringatan seperti ini kebanyakan dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa. Gema Haul akan lebih terasa dahsyat apabila yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar atau pendiri sebuah pesantren. Rangkaian acaranya biasanya dapat bervariasi , ada pengajian, tahlil akbar, mujahadah, atau  musyawarah.
f) Tahlilan
     Tahlilan berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan artinya membaca kalimah La illa ha illallah. Di masyarakat Jawa sendiri terdapat pemahaman bahwa tahlilan adalah pertemuan yang didalamnya dibacakan kalimat thayyibah. Biasanya dilaksanakan di masjid, muhola, atau rumah.[11]


PENUTUP
A. Kesimpulan
            Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul mana kala ada sebuah kebudayaan asing yang masuk dan kebudayaan itu diterima serta diolah oleh suatu kelompok masyarakat tanpa menghilangkan ciri khas kebudayaan masyarakat itu sendiri. Ritual sendiri adalah suatu teknik atau cara yang membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat sosial, dan agama. Ritual bisa bersifat pribadi ataupun berkelompok. Wujudnya bisa berupa tarian,drama,doa,dan sebagainya.
Jenis-jenis akulturasi dalam bidang keagamaan , yaitu: slametan atau wilujengan, Daur hidup, ( Tingkeban, Melahirkan, Upacara memberi nama, Upacara kekah, Tedhak sinten, Pemakaman dan ritus kematian, Nyekar ), PerayaanTahunan, Siyam, Tirakat, Bertapa.
B. Saran
Islam telah mengalami akulturasi dengan budaya lokal yang ada di Indonesia, khususnya pada daerah di jawa. Pada akulturasi tersebut sebaiknya masyakarat mengambil hal positif dari akulturasi tersebut. Untuk mengkaji terlebih lanjut, sebaiknya masyarakat juga menggali lebih lanjut inti atau ajaran apa yang di ambil dari ritual-ritual keagamaan yang selama ini telah dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Akulturasi Budaya. dickaerlangga.blogspot.com
Anonim. Akulturasi. id.wikipedia.org
Anonim. 2011. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal Dalam Bidang Ritual Keagamaan. wongkidoel.wordpress.com
Ayoub, Mahmoud M. 2004. Islam, Antara Keyakinan dan Praktik Ritual. Yogyakarta: AK Group
Muhammad, Waro. 2012. Kepercayaan, Ritual dan Pandangan Hidup. waromuhammad.blogspot.com
Shodiq, Ja’far. 2008. Pertemuan antara Tarekat dan NU. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Sukri, Sri Suhandjati. 2004. Ijtihad Progresif Yasadipura II. Yogyakarta: Gama Media
Yusuf, Mundzirin,dkk. 2005. Pokja Akademik Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga


[1] Ja’far shodiq,Pertemuan antara tarekat dan NU,(Yogyakarta,2008).halaman 84
[2]Sri Suhandjati Sukri,ijtihad Progresif Yadasipura II, (Yogyakarta:2004) halaman 327
[3] http://dickaerlangga.blogspot.com
[4] Urantia­-indonesia.tripod.com
[5] Waro Muhammad, http://waromuhammad.blogspot.com, (2012)
[6]Sri Suhandjati Sukri,ijtihad Progresif Yadasipura II, (Yogyakarta:2004)
[7] Mahmoud M Ayoub, Islam, Antara Keyakinan dan Praktik Ritual. (Yogyakarta,2004)
[8] [8] Mundzirin Yusuf, dkk, Pokja Akademik Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta,2005              )
[10] Mundzirin Yusuf, dkk, Pokja Akademik Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta,2005)
[11] Waro Muhammad, http://waromuhammad.blogspot.com (2012)

0 komentar:

Posting Komentar