LATAR BELAKANG
Sebelum masuknya
agama-agama ke bumi Indonesia
termasuk Islam, masyarakat Indonesia dikenal
sebagai penganut animisme dan dinamisme. Selain itu,
sebelum
masuknya agama Islam
masyarakat Indonesia
telah menganut agama
Hindu-Budha. Oleh
karena itu, ketika
masuk agama Islam
komunikasi antara ketiga unsur antar kepercayaan
animisme-dinamisme, Hindu-Budha dan ajaran agama Islam yang baru dalam
kehidupan mereka tidak dapat dihindarkan. Dalam interaksi ini mereka
memiliki latar belakang budaya yang berbeda akibat dari bedanya ajaran agama
masing-masing. Komunikasi
antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda
kebudayaan,misalnya antara suku bangsa,
ras, etnik dan lain-lain.
Dengan
demikian para pembawa agama Islam yang oleh para sejarahwan dikatakan sebagai
“pedagang dari Gujarat” dalam menyebarkan agama islam telah mengalami
komunikasi dan interaksi yang intensif dengan penduduk lokal yang telah memeluk
agama Hindu-Budha, yang tentu saja karena ajaran agama ini menciptakan
kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan pembawa ajaran agama Islam tersebut.[1]
Unsur
budaya Islam tersebar di Jawa seiring dengan masuknya islam di Indonesia.secara
kelompok dalam masyarakat Jawa telah mengental unsur budaya Islam sejak mereka
berhubungan dengan pedagang yang sekaligus menjadi mubaligh pada taraf
penyiaran islam yang pertama kali.
Pada awal interaksinya
kebudayaan-kebudayaan ini akan saling mempengaruhi baik secara langsung atau
tidak langsung.
Pada akhirnya kebudayaan yang
berbeda ini berbaur saling mempengaruhi antara budaya yang satu dan budaya yang
lain. Sehingga, saat Islam sudah memiliki banyak
pengikut dan legimitasi politik yang cukup besar, dengan sendirinya kebudayaan Islam-lah yang lebih dominan dan melebur dalam satu kebudayaan dalam satu wajah
baru. Unsur kebudayaan islam itu di terima, diolah dan
dipadukan dengan budaya Jawa. Karena budaya islam telah tersebar di masyarakat
dan tidak dapat di elakkan terjadinya pertemuan dengan unsur budaya Jawa, maka
perubahan kebudayaan yang terjadi selama ini adalyang masih dapat menjaga
identitas budaya Jawa yakni dengan akulturasi.[2]
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akulturasi dan Ritual
Akulturasi adalah suatu proses
sosial yang timbul mana kala ada sebuah kebudayaan
asing yang masuk dan kebudayaan itu diterima serta diolah oleh suatu kelompok
masyarakat tanpa menghilangkan ciri khas kebudayaan masyarakat itu sendiri.[3] Akulturasi
merupakan sebuah istilah dalam ilmu sosiologi yang berarti pengambilalihan
unsur-unsur kebudayaan lain. Akulturasi terjadi karena adanya keterbukaan suatu
masyarakat. Selain itu “perkawinan” dua kebudayaan bisa terjadi karena
pemaksaan dari kebudayaan asing yang memasukkan unsur kebudayaan mereka. Selain
kedua hal itu, akulturasi dapat juga terjaadi karena beberapa hal, antara lain;
kontak dengan budaya lain, sistem pendidikan
yang maju yang mengajarkan seseorang untuk lebih berfikir ilmiah dan objektif,
keinginan untuk maju, sikap mudah menerima hal-hal baru dan toleransi terhadap
perubahan. Contoh akulturasi budaya adalah bangunan masjid Kudus merupakan
hasil akulturasi antar Islam dan Hindu, serta perwayangan di daerah jawa dan
sekitarnya yang mengangkat cerita Ramayana dan Mahabarata merupakan wujud
akulturasi kebudayaan antara Hindu-Budha di bidang kesenian.
Ritual adalah suatu teknik atau cara
yang membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual
menciptakan dan memelihara mitos, adat sosial, dan agama. Ritual bisa bersifat
pribadi ataupun berkelompok. Wujudnya bisa berupa tarian,drama,doa,dan sebagainya.
Ritual pertamanya bersifat sosial kemudian bersifat ekonomis lalu berkembang
menjadi tata cara suci agama. Salah satu contoh ritual yang paling kuno adalah
ziarah yang kemudian berkembang menjadi upacara penyucian, pembersihan dan
upacara inisiasi (misalnya; masuk menjadi anggota, hamil 7 bulan, masuk akil baligh) kemudian bentuk
lebih modern adalah doa, bacaan bersahutan, dan sebagainya.
Dampak negatif
dari ritual adalah:
Ø Ritual cenderung untuk pengganti agama. Orang hanya mengikuti
ritual tanpa tahu dan menghayati keimanan dan perkembangan kerohanian dengan
baik.
Ø Menghambat perkembangan kerohanian. Sulit mengembangkan
kerohanian dan perbaikan doktrin, apabila agama dipenuhi oleh ritual dan
dikuasai para imam ritual.
Ø Menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Ini telah terbukti
sepanjang sejarah manusia.
Ø Ritual bisa berpotensi menolak pembaharuan dan pembenaran.
Dampak positif
Ritual adalah:
Ø Stabilasasi peradaban. Misalnya di bangsa-bangsa yang memeluk
islam, terlihat lebih stabil dengan adanya keseragaman ritual.
Ø Peningkatan jenis budaya tertentu. Misalnya di Bali,
ritualnya bermanfaat bagi tourisme dan pengembangan seni.
Ø Membantu pengendalian diri manusia.[4]
B. Budaya Lokal Jawa
Kejawen adalah sebuah kepercayaan
atau mungkin boleh dikatakan agama, yang terutama yang dianut di pulau jawa dan
suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa.
Kejawen
sebenarnya adalah nama sebuah kelompok kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu
sama lain dan bukan sebuah agama yang terorganisir seperti agama Islam atau agama Kristen.
Ciri
khas dari Kejawen
adalah adanya perpaduan antara animisme, agama Hindu dan agama Budha. Nampak bahwa ini adalah sebuah kepercayaan sinkretisme.
Pengamatan Geetz tentang Mojokuto
terkait profesi penduduk setempat. Penggolongan penduduk menurut pandangan
masyarakat Mojokuto
berdasarkan kepercayaan, profesi, etnis dan pandangan politik dan di temukannya
tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang
mencerminkan tiga tipe kebudayaan abangan, santri dan priyayi.
1.
Varian Abangan
Struktur
sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh
kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap
makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan menunjuk kepada seluruh tradisi
keagamaan abangan.
Bagi
sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan hasil tradisi yang menjadi perlambang
kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja
menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk memenuhi setiap hajat
orang atas suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan.
Dalam
tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan :
1) yang berkisar krisis kehidupan,
2) yang berhubungan dengan pola hari
besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa,
3)
yang terkait dengan intregasi desa,
4)
slametan untuk kejadian yang luar biasa yang ingin dislameti.
Kesemuanya, betapa slametan menempati setiap
proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan emosional
individu karena telah dislameti.
2.
Varian Santri
Mojokuto
yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jamaah muslimnya terkristal
dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas
pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri.
Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak
acuh terhadap doktrin dan terpesona pada upacara. Sementara santri lebih
memiliki perhatian terhadap doktrin dan mengalahkan aspek ritual islam yang
menipis.
Untuk
mempertahankan doktrin santri, mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus
dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan
masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisional) dan sistem sekolah
yang diperkenalkan oleh gerakan modernis.
Kemudian
memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukan pelajaran doktrin
pada sekolah
negeri.
3.
Varian Priyayi
Dalam
kebudayaan Jawa,
istilah priyayi atau berdarah biru merupakan satu kelas sosial yang mengacu
kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena
memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.
Kelompok
ini menunjuk pada elemen Hinduisme
lanjutan dari tradisi keraton Hindu-Jawa. Sebagai halnya keraton, maka
priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi dan
mistisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial
Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Kepercayaan-kepercayaan
religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah
secara animis yang berakar dalam agama-agama Hinduisme yang semuanya telah
ditumpangi oleh ajaran islam.[5]
C. Peran Wali dalam
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
Dalam penyebaran Islam di Jawa, walisongo memiliki peranan yang
cukup besar dalam proses
akulturasi Islam
dengan budaya Jawa. Mereka menghasilkan karya-karya kebudayaan sebagai media
penyebaran Islam. Untuk memperkenalkan unsur-unsur budaya baru hasil akulturasi
Islam dengan budaya Jawa itu, para wali melakukan pengenalan nilai-nilai baru
secara persuasif. Dalam hal-hal yang sensitif,
seperti bidang kepercayaan, para wali membiarkan penghormatan terhadap leluhur
sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat jawa. Namun perlengkapan dalam
upacara diganti seperti sesaji diganti dengan pemberian makan kepada tetangga
dan sanak saudara, yang dikenal dengan hajatan. Sementara itu mantra-mantra
diganti dengan
kalimat thayyibah (puji-pujian kepada Allah). Beberapa karya lain yang
menunjukkan perpaduan
Islam dengan budaya Jawa
yang telah dihasilkan para wali antara lain gamelan dan wayang. Dalam bidang
sastra, kitab Ambiya yang berisi tentang
kisah-kisah nabi adalah wali. Kitab tersebut menjadi rujukan kitab Ambiya yang
disalin pada masa pemerintah Surakarta,
upaya memadukan unsur Islam dan Budaya Jawa, dimasa selanjutnya dilakukan oleh
Sultan Agung di Mataram. Media yang pernah digunakan oleh walisongo dalam menyebarkan
agama Islam, seperti Grebeg
Besar, digunakan pula oleh Sultan Agung dan keturunannya. Penguasa keraton
Yogyakarta maupun Surakarta, dsampai
sekarang masih melestarikan perayaan Sekaten
untuk memperingati Maulud Nabi. Perayaan Sekaten itu merupakan salah satu
bentuk perpaduan unsur Islam dan Budaya Jawa. Sedangkan unsur yang tidak dapat
disatukan, seperti pemujaan arwah leluhur dibiarkan tetap berada dalam
bentuknya masing-masing.
Kepercayaan merupakan suatu
kebudayaan (covert culture), dan sulit diganti dengan unsur asing. Jika dapat
diganti, maka akan memakan waktu yang lama, dikarenakan perubahannya lambat.
Untuk beradaptasi dengan syariat
Islam, dipergunakan cara-cara lunak, persuasif,
dan perlahan-lahan. Mengingat adanya kepercayaan Jawa yang tidak dapat
dipadukan dengan syariat Islam, seperti dalam masalah akidah. Karena itu, konsep
pengitegrasian unsur Islam kedalam budaya Jawa tanpa menghilangkan identitas
budaya Jawa itu sendiri. Terutama dalam hal kepercayaan dan adat istiadat
yang sulit diubah.
Serta untuk mengsosialisasikan
ajaran Islam ke tengah masyarakat Jawa, dikembangkan cara-cara lembut, namun
tegas serta menolak kekerasan yang dinilai tidak akan menunjang tercapainya
suatu tujuan.
Alkuturasi
Islam di masyarakat, melibatkan
para priyayi atau
penguasa dalam proses perubahan kebudayaan. Karena penguasa adalah panutan bagi
rakyatnya, sehingga menyiapkan ajaran tata krama profesi, agar mereka memiliki
komitmen untuk mendukung akulturasi Islam dan budaya Jawa.[6]
D. Islam Dalam Praktik Ritual
Al-Qur’an mengatakan:”Kalian
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk lingkungan manusia, memerintah kepada
yang baik dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah.”(3:10)
Dalam peradaban Barat modern,
ini yang disebut dengan istilah”humanism”. Namun humanism telah membawa manusia
kepada bencana ideology, komunisme
totaliter, nazisme dan fasisme. Dunia Muslim juga terperangkap dalam humanism
ini, moralitas
tanpa kerangka keimanan. Berbagai gerakan nasionalisme dan ideology yang telah
mencabik-cabik umat Muslim adalah bukti nyata dari ini.
Humanism dimulai berabad-abad
lalu pada masa Yunani Kuno. Bangsa Yunani dengan
bangga mengatakan “Manusia adalah ukuran semua hal”.
Iman adalah kepastian mutlak
atas keesaan Allah. Keimanan dan keesaan Allah menunjukkan persatuan makhluk,
kemanusiaan dan Umat Islam.
Alqur’an menggambarkan orang Badui
(orang-orang Arab nomaden yang tinggal disekitar madinah) mengatakan, “Orang Badui
berkata, “Kami beriman”, kata Muhammad,”Kamu belum beriman sesungguhnya”,
tetapi katakanlah “Kami telah tunduk”, Iman belum masuk betul dihatimu”.
(49:14)
Keimanan adalah hubungan antara
individu dengan Allah. Namun iman bukanlah suatu ide abstrak atau ideal. Iman
adalah jalan hidup yang harus dimanifestasikan dalam perbuatan baik. Oleh sebab
itu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menyatakan bahwa Iman adalah perbuatan-perbuatan
baik (ihsan), suatu keyakinan dan pembenaran dan anggota dalam sebuah
masyarakat beriman.
Kehidupan iman dari
suatu umat adalah suatu kehidupan yang berlangsung secara penuh dan terus
menerus dengan kehadiran Allah. Dalam permulaan penegakan hukum Allah dalam kehidupan
manusia, Nabi
mengatakan “waktu telah berpaling dan telah
kembali ke bentuk aslinya, bentuk sebagaimana yang Allah inginkan saat Dia
menciptakan makhluk”.[7]
E. Jenis-jenis
Akulturasi dalam Ritual keagamaan
a)
Selametan atau Kewilujengan
Selametan
berasal dari bahasa Arab “salamah” yang berarti selamat. Upacara
selamatan ditujukan untuk meminta keselamatan bagi seseorang atau salah satu
anggota keluarga. Upacara
selametan biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri anggota
keluarga dan tetangga, kerabat dan kenalan. Selametan mengundang modin atau
tokoh agama untuk memberikan doa.
Koentjaraningrat berpendapat
bahwa: “upacara slametan yang bersifat keramat adalah upacara slametan yang
diadakan oleh orang-orang yang dapat merasakan getaran emosi keramat, terutama
pada waktu menentukan diadakannya slametan itu, tetapi juga pada waktu upacara
sedang berjalan.”[8]
b) Upacara Daur Hidup
Daur hidup adalah upacara yang
terkait dengan upacara-upacara sepanjang lingkaran
hidup manusia. A Van Gannep yang pendapatnya dikutip oleh Koentjaraningrat
mengemukakan bahwa rangkaian upacara sepanjang lingkaran hidup merupakan bentuk
tertua dari semua aktivitas keagamaan dan kebudayaan manusia. Dalam daur hidup
terdapat suatu tradisi upacara yaitu sedekah untuk menghormati arwah keluarga
yang sudah meninggal dunia.
Macam-macam upacara daur hidup
adalah:
1.
Tingkeban : upacara
yang diadakan saat usia kandungan mencapai 7 bulan.
2.
Melahirkan : orang tua
mengumandangkan azan pada telinga anak yang baru lahir dan diikuti dengan
upacara lek-lekan selama beberapa hari tertentu.
3.
Slametan Brokohan : upacara memberi nama pada bayi. Nama
diberikan pada hari kelahiran.
4.
Kekah : inti upacara
ini adalah pemotongan rambut bayi pada hari ke-7.
5.
Tedhak Siten : slametan pada saat bayi berumur 35 hari atau
upacara menyentuh tanah.
6.
Khitanan : upacara
sunatan atau mengislamkan.
7.
Pemakaman : upacara
menyemayamkan mayit.
8.
Nyekar :
mengunjungi, membersihkan dan berdoa.[9]
9.
Sedekah Surtanah atau Geblag : diadakan pada saat
meninggalnya seseorang.
10.
Sedekah nelung dina :
upacara slametan yang diadakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya
seseorang.
11.
Sedekah mitung dina : upacara slametan yang diadakan pada
hari ketujuh setelah meninggalnya seseorang.
12.
Sedekah matang puluh dina : upacara slametan yang diadakan
pada hari keempatpuluh setelah meninggalnya seseorang.
13.
Sedekah nyatus : upacara slametan yang diadakan pada hari
keseratus setelah meninggalnya seseorang.
14.
Sedekah mendhak sepisan dan mendhak pindo : upacara slametan
yang diadakan pada waktu sesudah satu
tahun dan dua tahun dari saat meninggalnya seseorang.
15.
Sedekah nyewu atau nguwis-nguwisi : upacara slametan yang
diadakan pada hari keseribu setelah meninggalnya seseorang atau upacara
slametan yang terakhir kali.[10]
c) Upacara Tahunan
1.
Mauludan : Upacara
peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
2.
Suranan :
Peringatan tahun baru Hijriyah.
3.
Syawalan : Peringatan
Hari Raya Idul Fitri.9
d) Ziarah Kubur
Kebiasaan yang sering kita
lihat dan dipertahankan oleh masyarakat Islam Jawa khususnya adalah pada hari
Kamis sore atau Jum’at pagi melakukan ziarah kubur. Yaitu dengan mengunjungi
dan membersihkan makam serta mendo’akan jenazah keluarganya.
e) Haul
Kata “haul” berasal dari bahasa
Arab, artinya setahun. Peringatan haul berarti peringatan genap satu tahun seseorang
meninggal.
Biasanya peringatan-peringatan seperti ini kebanyakan dilakukan oleh masyarakat
Islam Jawa. Gema Haul akan lebih terasa dahsyat apabila
yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar atau pendiri sebuah
pesantren. Rangkaian acaranya biasanya dapat bervariasi , ada pengajian, tahlil akbar, mujahadah, atau musyawarah.
f) Tahlilan
Tahlilan berasal dari kata
hallala, yuhallilu, tahlilan artinya membaca kalimah La illa ha illallah. Di
masyarakat Jawa sendiri terdapat pemahaman bahwa tahlilan adalah pertemuan yang
didalamnya dibacakan kalimat thayyibah. Biasanya dilaksanakan di masjid,
muhola, atau rumah.[11]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akulturasi adalah suatu proses
sosial yang timbul mana kala ada sebuah kebudayaan
asing yang masuk dan kebudayaan itu diterima serta diolah oleh suatu kelompok
masyarakat tanpa menghilangkan ciri khas kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Ritual sendiri adalah suatu teknik atau cara
yang membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci (sanctify the custom). Ritual
menciptakan dan memelihara mitos, adat sosial, dan agama. Ritual bisa bersifat
pribadi ataupun berkelompok. Wujudnya bisa berupa tarian,drama,doa,dan
sebagainya.
Jenis-jenis
akulturasi dalam bidang keagamaan , yaitu: slametan atau wilujengan, Daur
hidup, ( Tingkeban, Melahirkan, Upacara memberi nama, Upacara kekah, Tedhak
sinten, Pemakaman dan ritus kematian, Nyekar ), PerayaanTahunan, Siyam,
Tirakat, Bertapa.
B. Saran
Islam telah mengalami akulturasi dengan budaya
lokal yang ada di Indonesia, khususnya pada daerah di jawa. Pada akulturasi
tersebut sebaiknya masyakarat mengambil hal positif dari akulturasi tersebut.
Untuk mengkaji terlebih lanjut, sebaiknya masyarakat juga menggali lebih lanjut
inti atau ajaran apa yang di ambil dari ritual-ritual keagamaan yang selama ini
telah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Akulturasi
Budaya. dickaerlangga.blogspot.com
Anonim.
Akulturasi. id.wikipedia.org
Anonim. 2011. Akulturasi
Islam dan Budaya Lokal Dalam Bidang Ritual Keagamaan.
wongkidoel.wordpress.com
Ayoub, Mahmoud M. 2004. Islam,
Antara Keyakinan dan Praktik Ritual. Yogyakarta: AK Group
Muhammad, Waro.
2012. Kepercayaan, Ritual dan Pandangan Hidup. waromuhammad.blogspot.com
Shodiq,
Ja’far. 2008. Pertemuan antara Tarekat dan NU. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Sukri, Sri Suhandjati. 2004. Ijtihad
Progresif Yasadipura II. Yogyakarta: Gama Media
Yusuf, Mundzirin,dkk. 2005. Pokja
Akademik Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
0 komentar:
Posting Komentar